("aktifitas penambangan pasir di Serayu "doumentasi Ekspedisi Serayu)
Ekspedisi Serayu merupakan kegiatan yang menunjukkan adanya kesadaran kembali atas pentingnya lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Selama ini, ketiga lingkungan ini sering dicermati secara sektoral. Artinya, lingkungan fisik dilihat tidak berpengaruh yang tinggi terhadap keberlangsungan lingkungan sosial dan lingkungan budaya. Padahal, ketiga lingkungan itu tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ketiga lingkungan itu sudah berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang tidak dapat terelakkan lagi.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu dipandang sebagai lingkungan fisik yang menyuburkan di sepanjang sungai tersebut sehingga muncul nyanyian kemakmuran, bahkan ramalan Jayabala lokal yang ditemukan di Daerah Aliran Sungai Lukulo, Kebumen. Tampaknya, Serayu yang menjadi idaman penduduk yang berdiam di sepanjang alirannya, yaitu Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, juga dirindukan oleh penduduk dari kawasan lain. Namun, Serayu secara fisik semakin lama semakin lebar ke hilir yang diiringi dengan keganasan arusnya yang menyebabkan erosi dan menghilangkan situs-situs sosial dan budaya.
("Tuk Bima Lukar mata air Serayu"doumentasi Ekspedisi Serayu)
Serayu yang dulu arusnya
kelihatan tenang dan debit airnya stabil sekarang berubah menjadi dangkal. Keanekaragaman hayati tentu semakin berkurang, misalnya,
ikan baceman yang menjadi favorit orang Banyumas semakin hari makin sulit
ditemukan. Serayu mendendangkan kenikmatan berbagai jenis ikan sebagai santapan
sehari-hari. Kemiskinan ikan-ikan dari Serayu tentu akan merugikan penduduk
dari generasi yang akan datang. Secara fisik, Serayu sekarang lebih kaya raya
dengan sampah, yang hal itu merupakan fenomena yang sangat umum ditemukan pada
sungai-sungai di Jawa, bahkan di seluruh Indonesia. Ketidaksadaran membuang
limbah ke sungai sulit dikendalikan karena penduduk berpikir bahwa sungai
adalah muara yang bisa menyelesaikan persoalan segala sampah. Jika sampah sudah
merajai sungai-sungai, maka sekarang dan di kemudian hari akan sulit diperoleh
sumber air bersih. Kakek nenek kita dulu selalu bercerita betapa segarnya minum
air sungai. Kesegaran air sungai akan menjadi kenangan dan bahkan mitos bagi
penduduk yang hidup dalam kekinian.
Lingkungan sosial dan lingkungan budaya Serayu mengisyaratkan bahwa kehidupan telah berjalan sesuai dengan zamannya. Sungai Serayu tidak pernah sepi dari kehidupan sosial. Jika manusia tidak pernah hidup di sepanjang DAS Serayu, maka artefak-artefak dari masa prasejarah (nirleka) tidak akan ditemukan. DAS Serayu telah membuktikan bahwa arca Polinesia yang lebih terkenal sebagai arca Lancingan merupakan isyarat kepurbaan Serayu di desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas. Arca yang berasal dari 3.000 tahun yang lalu itu diperkuat dengan kenyataan adanya kapak-kapak neolitik di desa Papringan, Kecamatan Banyumas. Di dusun Kalibening, desa Dawuhan (tetangga Papringan) ditemukan warisan tradisi megalitik yang berkembang hingga awal abad ke-20. Hal tersebut perlu diiringi dengan penelitian lebih lanjut dengan ekskavasi. Serayu tinggal menunggu kapan akan ditemukan fosil manusia purba, Homo Banyumanensis untuk mengisi kekosongan zaman prasejarah.
Selain itu, Serayu juga menyimpan zeitgeist Hindu Buddha dengan eksistensi kerajaan Galuh Purba yang berpusat di Purwokerto, yang secara perlahan-lahan bergerak ke timur menuju Dataran Tinggi Dieng. Sosial-budaya kisah-kisah Mahabharata lokal berkembang dengan suburnya yang diikuti dengan munculnya toponim-toponim wayang. Seolah-olah DAS Serayu adalah lokasi perang besar Bharatayuda. Ada banyak orang berseloroh bahwa dataran rendah di utara Serayu, khususnya Purwokerto dan Purbalingga adalah daerah Kurawa sehingga dialek Banyumasan yang berkembang banyak kesamaannya, sedangkan daerah di luarnya itu adalah daerah Pandawa. Serayu dari percandian di Dataran Tinggi Dieng hingga muaranya di Cilacap dimitoskan dengan alam pewayangan. Namun, dominasi Bima atau Werkudara telah melegenda sebagaimana juga dimuat dalam Bujangga Manik dan Serat Centhini. Werkudara seolah-olah menjadi roh penting Serayu hingga masa kini.
("pemanfaatan sungai serayu untuk pertanian"doumentasi Ekspedisi Serayu)
Lingkungan sosial dan lingkungan budaya Serayu mengisyaratkan bahwa kehidupan telah berjalan sesuai dengan zamannya. Sungai Serayu tidak pernah sepi dari kehidupan sosial. Jika manusia tidak pernah hidup di sepanjang DAS Serayu, maka artefak-artefak dari masa prasejarah (nirleka) tidak akan ditemukan. DAS Serayu telah membuktikan bahwa arca Polinesia yang lebih terkenal sebagai arca Lancingan merupakan isyarat kepurbaan Serayu di desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas. Arca yang berasal dari 3.000 tahun yang lalu itu diperkuat dengan kenyataan adanya kapak-kapak neolitik di desa Papringan, Kecamatan Banyumas. Di dusun Kalibening, desa Dawuhan (tetangga Papringan) ditemukan warisan tradisi megalitik yang berkembang hingga awal abad ke-20. Hal tersebut perlu diiringi dengan penelitian lebih lanjut dengan ekskavasi. Serayu tinggal menunggu kapan akan ditemukan fosil manusia purba, Homo Banyumanensis untuk mengisi kekosongan zaman prasejarah.
Selain itu, Serayu juga menyimpan zeitgeist Hindu Buddha dengan eksistensi kerajaan Galuh Purba yang berpusat di Purwokerto, yang secara perlahan-lahan bergerak ke timur menuju Dataran Tinggi Dieng. Sosial-budaya kisah-kisah Mahabharata lokal berkembang dengan suburnya yang diikuti dengan munculnya toponim-toponim wayang. Seolah-olah DAS Serayu adalah lokasi perang besar Bharatayuda. Ada banyak orang berseloroh bahwa dataran rendah di utara Serayu, khususnya Purwokerto dan Purbalingga adalah daerah Kurawa sehingga dialek Banyumasan yang berkembang banyak kesamaannya, sedangkan daerah di luarnya itu adalah daerah Pandawa. Serayu dari percandian di Dataran Tinggi Dieng hingga muaranya di Cilacap dimitoskan dengan alam pewayangan. Namun, dominasi Bima atau Werkudara telah melegenda sebagaimana juga dimuat dalam Bujangga Manik dan Serat Centhini. Werkudara seolah-olah menjadi roh penting Serayu hingga masa kini.
("lingga yoni" doumentasi Ekspedisi Serayu)
Di samping toponim
wayang, juga banyak toponim kuna, seperti Gunung Raja, yang identik dengan Raja
Gunung atau Sailendra; Gunung Pawinihan tempat diturunkannya manusia pertama di Jawa seperti disebut oleh kitab Jawa
Pertengahan Tantu Panggelaran; Mandiraja
bisa diidentikkan dengan nama raja Galuh yang bernama Mandiminyak, yang disebut
dalam kitab Sunda Kuna, Carita
Parahiyangan; atau Sigaluh identik dengan kerajaan Galuh. Nama-nama lain,
misalnya, Danaraja, dan Patikraja perlu diteliti sesuai dengan penemuan
artefak.
Di masa kini, lingkungan
fisik Serayu yang indah itu harus bisa dinikmati dengan pembuatan jalan setapak
sepanjang DAS Serayu untuk wisata susur sungai di daratan dan juga area
pemancingan. Atau, lebih modern lagi, betapa keindahan Serayu akan menampakkan
lekukan arus dan hijaunya sawah-sawah dapat dilihat di atas kereta gantung yang
menjulur bolak-balik antara Dataran Tinggi Dieng hingga muaranya di Cilacap.
Impian terhadap Serayu itu mudah-mudahan bisa terwujud dengan adanya kerjasama
lima kabupaten dalam membangunnya. narasumber: Heni Purwono. diposting oleh Havid Adhitama
sanagat informatif, semoga terus menulis hal-hal yang bermanfaat
ReplyDelete