Beberapa waktu yang lalu seorang teman bertanya terkait kegemaran saya
mengukur elevasi dan tekanan udara di berbagai tempat yang saya singgahi. Untuk
menjawab pertanyaan ini sebenarnya ada jawaban singkat, namun pada artikel ini
saya akan menjawab pertanyaan tersebut dengan lebih klinis.
Pada dasarnya, kegiatan mengukur elevasi, tekanan udara dan juga temperatur adalah hal “iseng”, namun keisengan ini bukan tanpa motif, saya terinspirasi oleh Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Junghuhn adalah seorang penjelajah dan naturalis Jerman yang terkenal karena penelitiannya tentang geologi dan flora di Indonesia pada masa lampau. Salah satu daerah yang ia teliti adalah Dieng Plateau di Jawa Tengah, Indonesia.
Peta Topografi Dieng yang dibuat oleh Junghuhn |
Junghuhn pertama kali mengunjungi Dieng pada tahun 1847 dan terpesona
oleh keunikan dan keindahan alamnya. Dia melakukan penelitian yang ekstensif
tentang geologi, gunung berapi, dan kehidupan tumbuhan di daerah tersebut.
Junghuhn mempublikasikan temuan-temuannya dalam bukunya yang terkenal,
"Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart" (Jawa,
Bentuknya, Tutupan Tanah dan Struktur Internalnya).
Jika teman-teman mengulas balik materi sewaktu SMA, mungkin akan teringat materi klasifikasi Iklim oleh Junghun yang memetakan sebaran tanaman di ketinggian tertentu. Pemetaan ini tidak terlepas dari penjelajahan Junghun di pulau Jawa. Dari apa yang beliau tulis, secara tidak langsung memvalidasi terkait teori gradien suhu bahwa setiap kenaikan elevasi 100 meter terjadi penurunan suhu 0,65 derajat celcius.
Interpretasi Iklim menurut Junghuhn. |
Tentu dari apa yang Junghuhn tulis bukan sekadar data eksak tanpa
interpretasi, dari catatan-catatannya ia juga menjelaskan perihal kehidupan
sosial budaya di lokasi yang ia jelajahi, ia bisa memaparkan keterkaitan antara
suhu, ketinggian tempat, flora fauna yang hidup dan kehidupan masyarakat yang
bergantung pada alam pada masa itu. dan apa yang Junghuhn paparkan masih
relevan dengan apa yang terjadi sekarang meskipun pemanfaatan alam dan kehidupan
sosial budaya yang ada sudah berkembang lebih pesat.
Namun ini yang menjadikan saya tertarik untuk mengamati fenomena atmosfer di berbagai tempat yang saya singgahi, saya menjadi lebih paham dan bisa sedikit memprediksi kehidupan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat dengan mengetahui ketinggian tempat tinggal mereka yang diukur dari permukaan air laut.
Petani Dieng Mengakses kebun kentang di 2200 Mdpl |
Bagaimana bisa? Tentu dengan panduan apa yang Junghuhn ceritakan, contoh: tempat tinggal saya berada di Banjarnegara memiliki ketinggian 1200mdpl, suhu rata-rata adalah 18-24 derajat celcius, mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dengan komoditas utama sayuran semacam kubis, bawang daun dan kentang. Kemudian saya singgah ke daerah lereng selatan gunung Sumbing di Magelang, atau saya singgah di lereng timur gunung Sindoro yang kebetulan memiliki elevasi yang sama, otomatis bisa teramati komoditas pertanianya juga identik.
Altimeter dan Barometer |
Untuk kebudayaan pasti ada perbedaan, karena budaya erat kaitanya dengan
pengaruh ekseternal, namun pola keseharian mereka hampir sama, naluri survival
mereka dalam memanfaatkan alam juga sama. Termasuk dalam berpakaian dan apa
yang mereka konsumsi. Dari parameter sederhana tersebut, kita juga sudah bisa
memperkirakan bagaiamana mereka “hidup”. Dari parameter eksak semacam elevasi, tekanan
udara dan temperatur kita bisa sedikit memahami kehidupan sosial budayanya
secara komunal. meskipun tidak bisa dijadikan patokan utama, minimal ini bisa
dijadikan refrensi kita ketika berinteraksi dengan komunitas baru di sebuah
lokasi.
Hal-hal demikian yang membuat saya tertarik mengamati fenomena atmosfer, unik bagi saya karena fenomena atmosfer seperti ini berlaku secara general di semua belahan dunia. Seperti kita ketahui, bisa jadi pola keseharian masyarakat Tibet tidak jauh berbeda dengan masyarakat Dieng. Secara kebudayaan berbeda, namun keseharian mereka memakai pakaian tebal, “genen” atau membuat api di tungku rumah, serta minum teh adalah kebiasaan identik yang dipengaruhi oleh kondisi tempat tinggal mereka.
Stasiun Cuaca APRS Dieng |
Selain persoalan keterkaitan elevasi dengan kehidupan masyarakat di
suatu tempat, mengamati tekanan udara sebenarnya saya lakukan untuk mengamati cuaca.
Salah satu perangkat observasi saya terkait cuaca yang masih berlangsung hingga
saat ini adalah stasiun cuaca APRS yang saya pasang di komplek Candi Arjuna
Dieng, stasiun cuaca tersebut mengobservasi 3 parameter yaitu tekanan udara,
suhu dan juga kelembapan udara. Spesifiknya perangkat tersebut digunakan
untuk memprediksi munculnya embun es di
Dieng yang menarik bagi wisatawan serta sebagai early warning system para
petani kentang di Dieng.
Data observasi tersebut bisa teman-teman akses pada akun twitter
@CuacaDieng atau web Diengbanjarnegara.com/cuaca. Saat ini, data dari stasiun
cuaca APRS yang saya pasang sedang dijadikan penelitian oleh rekan mahasiswa Geofisika
dari IPB untuk dikaji terkait kemunculan embun es di dataran tinggi Dieng.
Portable WX Rakitan - Untuk Prediksi Cuaca Realtime |
Kemudian beberapa perangkat portable yang saya buat, yang mungkin tidak asing bagi teman-teman Instagram saya yaitu WX Portable. Alat ini saya gunakan untuk mengukur ketinggian dan juga mengamati perubahan tekanan udara. Dari perubahan tekanan udara yang terjadi kita bisa mengetahui cuaca yang terjadi selanjutnya, apakah ini akan hujan, sekadar mendung atau malah akan terik.
Saya rasa dengan memahami tanda alam sesederhana tekanan udara dan suhu seperti di atas menimbulkan kesadaran bahwa apa yang allah ciptakan bukanlah hal yang kebetulan, semua saling berkaitan dan berjalan sebagaimana mestinya. Perubahan musim, perubahan cuaca, sumber daya alam yang tersedia hingga pola manusianya juga bergerak secara teratur, bukan sebuah kebetulan. Jika maknai, Keteraturan alam semesta sangat luar biasa.